TRADISI NGUREK/ NGUNYING

Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan trance (diluar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan disejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying, Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti melobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu  sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.
Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat,  laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.
Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura (bagian dari bangunan pura) sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.

Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga  yang terdiri dari:

  1. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.
  2. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
  3. Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya

Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan,  para pengurek yang  kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.
Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya (para abdi/pengawal), berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya. (sumber : Blog kebudayaan)

NGUREK / NGUNYING TRADITION

Ngurek is a self-stabbing attraction with an Indonesian traditional weapon called “keris”. This is happening when the executor was in a trance condition. This attraction has a very strong connection with a religion (Hindu’s) ritual; furthermore, in some area of Bali, Ngurek tradition is a must to do as part of their culture. Sometimes Ngurek can be called “Ngunying” means a worship and giving respect to God (Sang Hyang Widhi Wasa). This is part of the “Dewa Yadnya” Ceremony, which is a sincere scarification ceremony. Based on Hindu’s religion, GOD created a human being and the entire Universe, therefore they supposed to take care, develop and sacrifice their selves to their GOD (Sang Hyang Widi Wasa)


Ngurek comes from a word “Urek” means stab or making a hole, so basically it means to try making a hole or stabbing part of your own body with the weapon (Keris, spears, etc) in a trance condition because it will let the other soul / spirit to get in to your body by having a strong power, resistance to any weapon. This is one of the unique traditions as well as the indescribable mystery of Bali culture and ceremony.
Ngurek tradition apparently happened in a Kingdom Glory Era. That time the King was making a celebration to show his gratitude to GOD as well to please all his warriors. Starting from Chicken battle ceremony, a Balinese traditional dance that shows the glorious of the warriors then followed by the Ngurek dance tradition. Originally Ngurek was executed by the holy person, but now days everybody in different caste and status, women and men can do this Ngurek dance tradition. In one condition, anyone who was doing this dancing must in a trance condition. Despite, the weapon stabbed to any parts of their bodies, not even a scratch or blood drop from it, usually this dance is taken place in the main area of the Holy Temple. Beforehand, the “Barong & Rangda Dance” with all the trance warriors went out from the Holy Temple and went around to the “Wantilan” (part of the Temple building) for 3 (three) times. When they did these things, the warriors became in their highest trance spiritual.
The process of being trance in Ngurek usually happened after doing all the ritual process. To get to the trance climax, they have to take few steps. In general it was divided into three parts such as:
1.Nusdus : stimute the Ngurek executor with a smoke that has a very strong scent
2.Masolah : the dancing part with the “Kecak” sound and gamelan instrument
3.Ngaluwur : bringing back the Ngurek executor to the normal indentity before trance condition
The sign of the soul / spirit has already inside of the executor’s body shows by some condition such as body shaking, shouting / screaming followed by gamelan instrument. Once they trance, they will start to stab with the Keris weapon to parts of the body such as chest, forehead, shoulder, neck, eyebrow, and eyes. Even though, those weapons stabbed and pushed really hard to their bodies repeatedly, not even bloods or any scratch to the executor’s skin. It’s all because of the spirit protecting them and empowering them from getting hurt through the sharp weapon. Each of the executors has their own style when they were trance. Some of them were standing while stabbing their body, the others would leaned on the Temple and the rest would run around still stabbing their body. After the ceremony is done, the Ngurek executor went back to the main of Temple area.

Ngurek Tradition is one of the most common spiritual traditions in Bali. During the ceremony inviting the ancestor spirit, these spirits were asking politely to enter the appointed people, and then it becomes the sign that the spirit has already come. Ngurek tradition also believed to invited the “Ida Bhatara” and all his warriors to delightly accept the ritual ceremony offering. Once the appointed people starting to trance and Ngurek, the society knows and believes that the Ida Bhatara (GOD) has already come down to the world, the procession of ceremony will become holier and solemn. (Source : Culutre Blog)